Rabu, 26 September 2007

Masalah Adat Di Timika

MENGGUGAT HAK ULAYAT
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT ADAT PEMILIK WILAYAH (NEINAT NEGEL) KABUPATEN MIMIKA PROVINSI PAPUA

A. PENGANTAR

Pembelajaran pembangunan pada masa lalu dengan pendekatan sentralistik dan top down ternyata tidak dapat mempertahankan keberlanjutan serta kualitas pembangunan yang bermakna bagi kehidupan masyarakat. Hal ini diindikasikan dengan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat, proyek-proyek pembangunan yang kurang bermanfaat bagi masyarakat serta terjadinya degradasi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena banyaknya kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) maupun persoalan pembangunan lainnya yang tidak dapat dituntaskan oleh Pemerintah. Dari kondisi tersebut telah menciptakan berbagai permasalahan yang dialami oleh masyarakat di bidang sosial, kesehatan, pendidikan, pelayanan publik serta persoalan kehidupan ekonomi.

Menyadari kecenderungan serta kelemahan dari sistem pemerintahan dan pembangunan di masa lalu yang melahirkan berbagai macam persoalan sosial, ekonomi dan politik, telah mendorong pemerintah untuk mengubah paradigma dan strategi pembangunan yang lebih didekatkan, diarahkan dan bertumpu pada manusia sebagi pusat dari pembangunan.

Pada konteks regulasi untuk menjawab persoalan di atas, pemerintah mengeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang memberikan peluang bahkan kewenangan bagi Pemerintah Daerah maupun masyarakat untuk dapat mengambil bagian dalam proses pembangunan, mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan tiga contoh regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang lebih partisipatif dengan sejumlah pengaturan kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat.

Bagi Provinsi Papua dengan segala persoalan pembangunan dalam segala bidang, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum dan HAM kemudian diatur secara khusus dan esensial melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang secara substansial mengembalikan kembali hak-hak dasar orang asli Papua, dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan khusus disertai penambahan porsi pendanaan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua. Dalam konsideran Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberian Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, huruf “f” disebutkan : ..... “bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Azasi Manusia di Provinsi Papua khususnya masyarakat Papua.”

Selanjutnya dalam penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kewenangan yang lebih luas berarti tanggungjawab yang lebih besar bagi Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang lebih memadai bagi orang asli Papua melalui para wakil adat, agama dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua.

Bertitik tolak dari landasan yuridis di atas, maka masyarakat adat/asli Papua mendapat tempat yang sentral khusus di dalam pembangunan Provinsi Papua, oleh karena selama ini pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat adat/asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dengan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua; hak-hak dasar dimaksud antara lain : hak memperoleh kehidupan yang layak; hak untuk memperoleh pekerjaan dan hak untuk menyampaikan pendapat. Hak dasar ini berkorelasi dengan hak kepemilikan masyarakat hukum adat terhadap sumber daya alam.

Dengan penjelasan di atas, maka dalam kebijakan pembangunan di Provinsi Papua, masyarakat yang terorganisir dalam Lembaga Masyarakat Adat (LMA) atau dengan penyebutan lainnya, mendapat tempat serta perhatian yang besar untuk terus direvitalisasi, dimampukan dan diperkuat, sehingga meningkatkan posisi tawar dengan pihak luar serta mampu melindungi sumber daya alam, hutan yang dimilikinya bahkan secara paralel dapat mengelola kekayaan sumber daya alam untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai konsekuensinya, maka penyiapan, pendampingan, penguatan dan perlindungan terhadap masyarakat adat harus dilakukan, dengan tetap menghargai semua institusi adat yang ada di kampung dengan segala norma, nilai serta adat istiadat sebagai budaya yang telah diyakini dan dilakukan secara turun temurun sejak nenek moyang. Hal penting untuk perhatikan oleh sebab jika diabaikan, akan menimbulkan konflik-konflik di antara masyarakat, apalagi dewasa ini telah terjadi pergeseran nilai dan pandangan terhadap kepemilikan sumberdaya alam. Sebagai contoh masyarakat asli Papua tidak mengenal sistem jual beli tanah, namun karena perkembangan zaman serta tuntutan ekonomi, sehingga dengan bebasnya tanah-tanah adat diperjual belikan.

Dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat adat berdasarkan norma, nilai serta aturan adat yang dimilikinya, masyarakat adat mempunyai pranata-pranata adat yang berfungsi mengendalikan pola relasi adat diantara masyarakat dan juga dengan sumberdaya alam yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat. Masyarakat adat mempunyai pemerintahan adat yang merupakan institusi tertinggi dengan kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar.

Selanjutnya, untuk menjaga agar nilai-nilai, norma-norma adat, kepercayaan dan kebiasaan yang berlaku dapat dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik oleh anggota warga masyarakat hukum adat termasuk dalam pemanfaatan sumber daya alam, maka fungsi institusi adat menjadi bagian yang penting dan sangat dihormati oleh karena kekuasaan untuk mengatur keseluruhan aktivitas dan pergaulan hidup antar warga masyarakat hukum adat, maupun antara warga masyarakat hukum adat dengan pihak luar agar kepatuhan terhadap nilai-nilai dan norma-norma adat dapat tetap dipertahankan.

B. LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA TIM NEINAT NEGEL

Tim Neinat Negel dibentuk oleh para tokoh masyarakat adat dari Kampung Arwanop sebagai pemilik wilayah adat Tanah Timika, yang mana sebagai pemilik hak ulayat kami melihat bahwa situasi dan kondisi masyarakat yang ada di Timika dari tahun ke tahun tidak ada perubahan, artinya hidup tidak aman dan pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, PT. Freeport Indonesia dan LSM-LSM tidak berjalan dengan baik, maka dari segi kebenaran adat kami melihat bahwa semua ini benar-benar merupakan kutukan TUHAN ALLAH dan TUAN TANAH sendiri karena tidak menghargainya. Salah satu contoh dari Bapak Tiukal Bolmang (Kepala Wilayah Adat/Kepala Dusun) dimana beliau telah melakukan perlawanan keras dan menuntut masalah wilayah Kuala Kencana dan sekitarnya kepada pihak perampas wilayah adat kami yaitu PT. Freeport Indonesia, tetapi pihak PT. Freeport Indonesia tidak pernah berniat baik untuk menerima dan membicarakannya secara baik-baik, bahkan selalu diusir dan kemudian dipanggil oleh pihak keamanan (Security dan Polisi) untuk diinterogasi dan akhirnya beliau tidak dapat menyampaikan aspirasinya kepada pihak PT. Freeport Indonesia.

Latar belakang masyarakat dari tiga (3) kampung pada umumnya dan secara khusus masyarakat Kampung Arwanop, berasal dari kaum ekonomi lemah dan tidak punya pendidikan, tidak punya pekerjaan tetap, tidak punya sumber penghasilan tetap dan masih primitif (hidup di honai dll). Kondisi masyarakat yang masih terbelakang ini dimanfaatkan oleh oleh orang pintar dan kaya yang datang dan merampas hak ulayat kami dan mendirikan bangunan mewah, gedung-gedung perkantoran serta sarana dan prasarana lainnya. Kamipun sebagai pemilik hak ulayat adat tidak pernah menuntut, karena kami sebagai masyarakat adat pemilik hak ulayat masih sangat terkebelakang dalam pendidikan dan pengetahuan.

Pada saat ini kami sebagai pemilik hak ulayat adat yang sudah dikaruniakan oleh Sang Pencipta telah mengetahui dan menyadari bahwa selama ini hak-hak kami telah dirampas. Dan untuk memperjuangkan kembali pengakuan atas hak ulayat kami yang telah dirampas, kami membentuk satu tim untuk membela wilayah adat kami yaitu TIM NEINAT NEGEL.

Tembagapura dan Timika menjadi satu ladang perputaran dollar di tingkat nasional maupun internasional, atau dengan kata lain atau dengan kata lain Timika menjadi suatu dunia dimana orang dari luar hanya datang untuk mencari keuntungan bagi diri pribadi. Kondisi seperti ini telah menjadikan masyarakat adat pemilik hak ulayat yang berasal dari kepala air Angigi Nogong atau dalam bahasa Komoro disebut AIKWA. Masyarakat Kampung Arwanop yang tidak siap akan tertinggal jauh dan tidak akan memperbaiki keadaan yang ada tapi siap bekerja keras dengan mengandalkan iman dan taqwa dari hati nurani untuk menjaga keutuhan dan kekompakan dalam membela hak-hak adat dan hak ulayat kami dari perrampasan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari berbagai daerah yang datang dan berdomisili di atas Tanah Timika, Kota Kuala Kencana dan sekitarnya.

C. TUJUAN PEMBENTUKAN TIM NEINAT NEGEL

Sejak awal masuknya pembangunan yang dilakukan di atas wilayah hak ulayat kami dari Kuala Kencana sampai pasar sentral di jantung kota Timika sebagai ibukota Kabupaten Mimika, tidak pernah ada pengakuan terhadap kami sebagai pemilik hak ulayat. Yang terjadi adalah perampasan tanah adat, kayu, batu, pasir dan sebagainya. Oleh sebab itu, semua orang dari Sabang sampai Merauke dan seluruh penjuru dunia masuk ke Timika dengan tujuan hanya untuk mencari harta kekayaan dan merampas hak milik kami lalu membuat onar dan perang-perangan antar suku dan marga. Kota Timika akhirnya menjadi tempat berkumpulnya berbagai manusia dengan berbagai latar belakang permasalahan untuk diselesaikan di Timika. Oleh sebab itu, kami Tim Neinat Negel siap untuk membela hak ulayat di atas tanah adat kami.

Neinat Negel berasal dari bahasa Amungme yang berarti pemilik hak ulayat. Tim ini akan bergerak untuk menuntut dan menggugat tanah adat yang menjadi hak ulayat kami yang telah dirampas oleh orang lain dan diperjual belikan tanpa izin dari kami. Tim ini juga bertujuan untuk menertibkan kembali Kota Timika dengan tatanan adat yang telah diwariskan secara turun temurun. Untuk itu kami minta kepada Bupati Kabupaten Mimika, Ketua DPRD Kabupaten Mimika, Pimpinan PT. Freeport Indonesia, LEMASA, LEMASKO dan LSM-LSM di Timika untuk mendukung kami membentuk satu ITOREL (rumah atau wadah tempat berkumpulnya orang-orang yang jumlahnya lebih dari 20) yang jika diartikan secara harafiah ke dalam bahasa Indonesia berarti YAYASAN atau LEMBAGA, yakni YAYASAN atau LEMBAGA NEINAT NEGEL yang akan berpartisipasi aktif dalam proses pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Mimika di bawah naungan LEMASA dan LEMASKO serta serjasama dengan Pemerintah Kabupaten Mimika, DPRD Kabupaten Mimika, Polres, Korem, Kodim dan Satuan BRIMOB dalam membina masyarakat, baik Papua maupun non Papua dalam rangka mewujudkan Kabupaten Mimika baru yang aman dan tertib.

Masyarakat yang mendiami Kabupaten Mimika saat ini tidak pernah mengakui dan tidak mengetahu siapa pemilik hak ulayat Kota Timika. Semua masyarakat Papua dan non Papua pada umumnya hanya tahu bahwa pemilik hak ulayat Kota Timika adalah Suku Amungme dan Suku Kamoro, itu memang benar, tapi yang tuan tanah, pemilik hak ulayat Tanah Timika adalah marga-marga tertentu saja, yaitu marga Jangkup, Bolmang, Anggaibak, Jawame, Metegau, Anggaitmang, Abogau, Beanal, Bukaleng, Omaleng,Janampa,Omabak,Jamang,Nagani dan Uamang Ke-sebelas marga tersebutlah yang merupakan tuan tanah dan pemilik hak ulayat atas Tanah Timika yang dalam bahasa asli Amungme adalah AINGIGI yang berarti Tanah Ini Milik Kamoro-Amungme yang kemudian disingkat menjadi TIMIKA. Dengan demikian maka wilayah Timika dari batas Sempan sampai dengan laut (Paumako) adalah hak ulayat masyarakat adat Kamoro sedangkan dari Sempan sampai dengan Kuala Kencana adalah hak ulayat milik masyarakat adat Amungme, namun tidak semua marga dari Suku Amungme melainkan 11 (sebelas) marga tersebut di atas yang merupakan penduduk asli Kampung Arwanop.

Untuk itu kami sebagai pemilik hak ulayat atas tanah adat telah sepakat mengumpulkan ide-ide dasar lewat tua-tua adat dan tokoh masyarakat Kampung Arwanop guna memajukan Kota Timika ke arah yang lebih baik.

Salah satu contoh buat kami warga masyarakat Kota Timika yang datang dari seluruh pelosok dunia maupun penduduk asli di Tanah Timika harus sadar dan tahu bahwa masalah-masalah di atas berasal dari mana? Kenapa selalu ada perang suku dan sebagainya? Jawaban dari dua (2) pertanyaan di atas adalah :
1. Karena semua masyarakat tidak mengakui dan tidak tahu siapa pemilik hak ulayatnya.
2. Orang-orang pendatang masuk, memiki dan menguasai tanah dan hasil hutan tanpa izin dari masayarakat adat selaku pemilik hak ulayat.
3. Memperjual-belikan tanah adat tanpa seizin pemilik hak ulayat.
4. Membuka lahan baru/pemukiman baru untuk membangun perumahan maupun gedung-gedung perkantoran.
5. Membentuk lembaga adat tetapi tidak berjalan sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku sebagai anak adat, akhirnya selalu menimbulkan permasalahan di kalangan masyarakat dan selalu menimbulkan konflik antar marga dan suku.
6. Yang punya hak ulayat sebenarnya ada, tetapi semua orang selalu menyatakan bahwa saya adalah pemilik tanah adat dan menipu diri sendiri, menipu tuan tanah, tipu di depan Allah yang menciptakan tanah ini, padahal Tuhan Allah yang menciptakan langit, bumi, sungai, tumbuh-tumbuhan, tanah dan manusia.
7. Semua manusia yang hidup di atas Tanah Timika, siapa saja, entah dia pria atau wanita yang telah memperjualbelikan tanah adat maka dia akan kembali ke tanah itu sendiri.

Semua jawaban (7) yang dipaparkan di atas ini adalah pekerjaan dari tuan tanah sendiri untuk mengambil tindakan karena kesalahan dari orang tersebut dan bukan hanya seorang individu saja, tapi akan kena juga sekelompok orang, suku, marga, PT. Freeport Indonesia, pemerintah daerah, lembaga-lembaga dan yayasan-yayasan yang ada di Tanah Timika. Kami harus sadar dan tahu kebiasaan masalah tahun-tahun yang berlalu dan tahun-tahun yang sekarang ini. Semuanya itu datang dari tuan tanah sendiri karena ketidaksenangan dengan masusia yang tidak jujur di depannya.

Oleh sebab itu, kami masyarakat pemilik hak ulayat mengajak seluruh masyarakat dari berbagai pelosok dunia yang ada Kota Timika untuk bersama-sama membangun Kota Timika yang baru menuju kedamaian yang abadi, mengakui dan menghargai pemilik hak ulayat.

D. SEJARAH PEMILIK WILAYAH (NEINAT NEGEL) KOTA TIMIKA

Sejarah awal mula dan asal-usul NEINAT NEGEL (pemilik wilayah) yang juga adalah ANGINOGONG adalah nenek moyang dari keturunan kami selaku pemilik wilayah adat (marga Jangkup, Bolmang, Anggaibak, Jawame, Metegau, Anggaitmang, Abogau, Beanal, Bukaleng, Omaleng Janampa,Omabak,jamang,nagani dan Uamang ) yang datang dari Mepima (tempat keluarnya manusia), dan kemudian turun mendirikan atau menancapkan tongkat Mangtawat Ningok (yang kemudian menjadi nama gungung kami). Dari Mangtawat Ningok kemudian turun lagi dan mendirikan atau menancapkan Kelatawat Ningok (panah) dan Atabuk (nama nenek moyang kami) dan Angiginogong (air kencing nenek moyang kami).

Nenek moyang kami mempunyai dua (2) orang saudara perempuan dan satu orang laki-laki (laki-laki ini sebagai kakaknya) yang melakukan perjalanan dari Gunung Atabuk hingga sampai ke Sempan (Timika) yang pada saat itu belum pernah dilewati maupun dihuni oleh orang lain, lalu kedua perempuan bersaudara ini tinggal dan menetap di Sempan dan batas kekuasaan dari kali Otawat nogong sampai dengan aroa nogong dan waa nogong untuk beberapa waktu lamanya.batas Dari gunung Kelatawat ningok dan tabuk ningok terus turun lagi kugupet kagapet ningok batas antara Kampung Arwanop dan Tembagapura, kemudian mereka turun lagi melalui kali aroa nogong dan membentuk patung manusia yaitu dalam Bahasa Amungme Meaikotkiet/Tonamko dan ini melambangkan bahwa kali Aroanogong dan waa nogong sudah gabung baru turun jadi sebelah Mile 38 dan mile 39 adalah Wilayah Adat orang Waa/Banti dan sebelahnya Milik Wilayah Adat orang Aroanop yang berbatasan dengan Kampung Jeba dan terus berjalan hingga sampai di wapua ningok dan Bogung gela ningok dan menurunkan Otawat nogong di Iwaka itu batas dengan suku Moni dan masyarakat Arwanop. Membatasi Hak ulayat antara Amungme dari Kampung Arwanop dan Suku Kamoro di P11/ Tenda 2 (Dua),karena disesuaikan dengan Keturunan kami menanjap tongkat dan menanam Tebu Hutan dan Pisang Hutan dalam bahasa Amungme adalah Elam ello dan Kelotawat dan posisi mengadap ke atas bagian gunung batas wakua ningaok di jeba dan lagi ke Tabuk Ningok menuju ke Ena Ningok lalu kugup et kagap et ningok batas gunung gerasberg di Kampung Waa/Banti di Tembagapura.

Tempat-tempat yang dilewati tersebut merupakan nama-nama kali dan gungung yang dilalui oleh nenek moyang kami dan kedua saudara perempuannya itu. Dengan demikian maka mulai dari Iwaka sampai dengan Gunung wakua ningok sampai batas orang Moni di kecamatan kemandoga yaitu Enaningok merupakan daerah atau hak ulayat kami sebagai keturunan dari ke 15(lima belas) Marga di atas dan juga bagian atas kepala air Jeba dimana terdapat dua (2) gunung yakni Gunung Wakua Ningok dan Gunung Kolowa Ningok hingga batas dari dataran rendah di P11/Tenda 2 (Dua) sampai dengan Gunung Bogung gela Ningok dan Ekalbuk sebagai batas dataran rendah dan dataran tinggi.

Dengan demikian, kami sebagai pemilik wilayah adat dan masyarakat Kampung Arwanop selama ini masih melihat dan tidak menutup mata karena sampai sekarang ini masih banyak manusia yang dijual, ditindas, diperkosa, khusus orang-orang Arwanop, masih sedikit yang mendapat tempat/kedudukan di berbagai posisi strategis dan penting, baik di PT. Freeport Indonesia maupun dalam pemerintahan serta lembaga-lembaga adat masyarakat Papua.

Masih sering terjadi diskriminasi yang mengakibatkan kesenjangan sosial antara orang Papua dan non Papua terhadap kami yang punya hak ulayat atas tanah ini, sehingga tanah, air, batu dan kayu juga dikuasai oleh orang dari luar, baik orang Papua maupun non Papua yang berdomisili di Kabupaten Mimika ini. Mereka (pendatang Papua dan non Papua) hanya menipu kami dengan beberapa bungkus rokok, supermi dan/atau satu (1) botol minuman keras untuk menguasai dan mendapatkan sumber daya alam kami, setelah itu dijual lagi dengan harga ratusan juta kepada pihak ketiga.

Hal-hal ini yang membuat sehingga kami sebagai pemilik hak ulayat, hanya sebagai penonton dalam permainan yang diciptakan oleh orang-orang non Papua dan orang Papua dari daerah-daerah lain.
Padahal, pemilih hak ulayat yang seharusnya berbicara yakni Bapak Tiukal Andrias Bolmang, Bapak Moses Jangkup dan Bapak Wanaek Janempa dan Manase.o.Jangkup, sudah berulang kali berteriak melalui demonstrasi yang seudah berkali-kali dilakukan kepada pemerintah maupun perusahaan, tetapi tidak pernah ditanggapi secara serius apa yang selama ini dituntut. Bahkan kami diperlakukan seperti bola yang dioper ke sana ke mari oleh pihak Pemerintah Kabupaten Mimika maupun perusahaan, kami tidak pernah diarahkan kepada siapa kami harus bertemu untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan kami ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan dalam benak kami bertiga, kemana dan kepada siapa kami harus bersandar? Apakah kami harus menyerah karena selama ini kami terus dibohongi oleh pemerintah dan perusahaan? Kami menyesal dan kecewa bahkan sakit hati yang luar biasa karena sebagai pemilik hak ulayat, kami terus dipermainkan di atas wilayah adat kami sampai hancur-hancurran.

Tapi kami tahu bahwa dalam Kitab Perjanjian Lama tertulis : “... yang punya tanah yang luas dan subur itu adalah Nahor, dan yang ingin merampas dan memiliki tanah Nahor adalah Ahab, dan di sana mulai muncul kecemburuan Ahab terhadap Nahor untuk merampas dan memiliki tanah seluruh tanah dari Nahor.” Dan sekarang PT. Freeport, pemerintah dan orang-orang pendatang yang ada di Timika seperti Ahab yang merampas dan memilikinya, PT. Freeport mendirikan 10 (sepuluh) departemen yang ada di Kuala Kencana, pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Daerah dan lembaga-lembaga pemerintah yang ada di Kabupaten Mimika.

Pada tanggal 22 Juli 1998,Yayasan WAARSING(Waa,Aroanop dan Stinga) telah membuka lahan baru di sebelah barat Kuala Kencana yang dipimpin oleh Pimpinan-Pimpinan WAARSING.

Mereka ini tidak meminta izin kepada Kepala Wilayah Adat/Kepala Dusun yang selama ini menjaga wilayah Kuala Kencana dan sekitarnya yaitu Bapak Tiukal Bolmang, Bapak Mozes Jangkup. Dua (2) orang perwakilan dari Arwanop yaitu Anton Janampa dan Isak Metegau bertemu dengan Bapak Mr. Sareway dan Bapak August Kafiar di Kantor PT. Freeport Indonesia OB I di Kuala Kencana, Bapak Tiukal Bolmang dan Bapak Mozes Jangkup menyatakan bahwa gunung di atas ini sudah dibagi-bagi oleh Tuhan Allah sendiri yang menciptakan manusia dan menempatkan sungainya masing-masing, kalau anda merasa diri orang Waa, berarti anda harus kembali ke sebelah kali kabur Mile 38. Tanggapan dari Pak Sareway yang menyatakan bahwa tanah di bagian Kuala Kencana ini sudah pernah dituntut oleh masyarakat Komoro dan sudah dibayar, beliau juga mengeluarkan peta yang menggambarkan wilayah Kuala Kencana yang sudah di bayar lunas. Kami menyatakan bahwa itu sudah salah besar, karena hak ulayat Suku Komoro itu hanya dari Sempan (Timika) sampai di laut (Paumako), oleh karena itu biar sudah lunas tetapi hak kami atas wilayah adat masih utuh dan belum mati. Kami menyatakan bahwa kami ini adalah orang kotor atau abu-abu, siapa saja entah dia orang Papua maupun non Papua yang masuk wilayah ini, membuka lahan baru, mendirikan bangunan, menebang pohon, mengambil pasir, mengambil batu dan air di atas nama Allah Bapa di Sorga saya mengangkat Alkitab memotong kaki, memotong lidah dan memutup mata. Bapak Sareway berjanji bahwa nanti 1 (satu) bulan kemudian kami datang untuk melihat hasilnya karena harus dikirim ke PT. Freeport Indonesia pusat di Jakarta. Satu bulan kemudian kami datang kembali ke OB I untuk bertemu dengan Pak Sareway, tapi beliau tidak ada dan akhirnya kami akan kembali menuntut janji dari salah satu staf PT. Freeport Indonesia yang telah sekian tahun lamanya dan baru sekarang ini kami menuntut kembali PT. Freeport Indonesia agar harus bertanggung jawab.

E. PENUTUP

Demikian tuntutan dan gugatan kami masyarakat adat pemilik hak ulayat tanah Timika yang telah dirampas hak-haknya selama bertahun-tahun.

Atas perhatian dan kesediaan Pemerintah Kabuten Mimika, DPRD Kabupaten Mimika, PT. Freeport Indonesia, LEMASA dan LEMASKO serta seluruh stake holders yang ada untuk mengakui dan menghargai upaya dan perjuangan kami dalam membela dan mempertahankan hak-hak kami yang telah diwariskan oleh nenek moyang kami secara turun temurun, kami sampaikan terima kasih.

Timika,25 september 2007

Penulis

Tim Neinat Negel







TIM NEINAT NEGEL
(PEMILIK WILAYAH ADAT TANAH TIMIKA)


KETUA 1. MANASE JANGKUP, S.IP ................................


2. MOSES JANGKUP ................................


WAKIL KETUA 1. YOHANES JANGKUP ................................


2. TASIEL ABOGAU ................................

SEKRETARIS 1. ISAK JANGKUP ................................


2. SIMON A. MAGAL ................................


BENDAHARA 1. SIMSON JAWAME ................................


2. MELIANUS MENTEGAU ................................


3. RUBEN JANGKUP ................................

ANGGOTA :

1. BEN JANGKUP .............................
2. LUKAS JANAMPA .............................
3. TASIEL ABOGAU .............................
4. OBAJA JANGKUP .............................
5. AGUS JAWAME .............................
6. WILEM BOLMANG .............................
7. DOMY OMABAK .............................
8. ELFIN JAWAME .............................
9. APEANUS JANAMPA .............................
10. ANDREAS JANGKUP .............................
11. OBAJA JAWAME .............................
12. SIMON JANGKUP .............................
13. ANDOI BUKALENG .............................
14. ZAKARIAS MIAGONI .............................
15. DONAS JANAMPA .............................
16. ERIANUS UAMANG .............................
17. MUSA ANAUW .............................
18. OBAJA EGATMANG .............................
19. ALPIUS JANGKUP .............................
20. DOMINGGUS NATKIME .............................
21. YOANES KUM .............................
22. AYUB DIWITAU .............................
23. THOMAS OMALENG .............................
24. SAMUEL.ANGGAIBAK .............................
25. TATAL ABOGAU .............................
26. ISAK METEGAU .............................
27. ALBERTUS JANAMPA .............................
28. OBET OMALENG .............................
29. JONATAN BEANAL .............................
30. KORNELIS JAWAME .............................
31. JONAEN JAWAME .............................
32. NATAN KUM .............................
33. MARTINUS MAGAL .............................
34. MELKIOR ZONGGONAU, SH .............................
35. RUBEN KOBOGAU .............................
36. MUSA JANEMPA .............................
37. FRANS OMALENG .............................
38. HENGKY OMABAK ..............................
39. SEPERIANUS OMABAK .............................
40. MICHAEL.J.KUM ...............................
41. MARDO BOLMANG .............................
42. YOSIAS BUKALENG .............................
43. STEPANUS.JANEMPA ............................
44. AGUS.OMALENG ..........................
45. LANUS OMALENG ..........................
46. HENGKY NATKIME ..........................
47. INOSENSIUS OMALENG ...........................
48. YAHYA ABOGAU ........................
49. ANDREAS DIBITAU ..........................
50. HESAU.JANEMPA ...........................

TOKOH ADAT/PENGAWAS NEINAT NEGEL
1. TIUKAL BOLMANG (PIMPINAN) .............................
2. WANAIK JANAMPA .............................
3. JULIANUS JANGKUP .............................
4. KELLO JANGKUP (KEPALA SUKU) .............................
5. ANTON JANAMPA .............................
6. OKTO DIMPAU .............................
7. JORI ABOGAU .............................
8. SIMON JANGKUP .............................
9. KLEMEN BEANAL .............................
10. ELIASER JAWAME .............................
11. WEWE JAWAME (KEPALA SUKU) .............................
12. SET.AIM ............................
13. TIMOTIUS OMABAK .............................
14. MIKEL.JANEMPA ............................
15. OKTOVIANUS NATKIME ............................
16. ANTONIUS OMABAK ...........................







TOKOH AGAMA/PENASEHAT NEINAT NEGEL
1. Pdt. OBETH JAWAME ..................................
2. Pdt. ALBERT JANGKUP ..................................
3. Pdt. PILEMON JAWAME ..................................
4. Pdt. MARIUS OMABAK ..................................
5. Ev. AMOS METEGAU ..................................
6. FRANS MAMEAUW, S. Ing ..................................
7. BPK.Pdt.YEHESKIEL UAMANG ....................................
8. BPK.Pdt.YEHUDA AGABAL .................................
9. BPK.Pdt.STEPANUS BEGAL ..................................
10. BPK.Ev.HOSEA DIBITAU ..................................
11. BPK.Pdt.POI OMALENG ................................
12. BPK.Pdt.SEM.MAGAL ...............................

TOKOH INTELEKTUAL NEINAT NEGEL
1. ELPINUS JANGKUP ..................................
2. NOPENUS OMABAK ..................................
3. OKTOVIANUS JANGKUP, S.Sos ..................................
4. TITUS JANAMPA, S.IP ..................................
5. NALIO JANGKUP ..................................
6. THOBIAS JAWAMPA, S.IP ..................................
7. URBANUS JAWAME, S.Sos ..................................
8. DOMMY ANGGAIBAK ..................................
9. ROMANUS OMALENG ..................................
10. KAMANIEL OMALENG ..................................
11. MARTINUS JANGKUP, SH ..................................
12. BEATRIX ZONGGONAU, S.S.JER ..................................
13. JUPINUS JANAMPA ..................................
14. MARTEN BOLMANG ..................................
15. DINA JAMANG, SH ..................................
16. YULIUS MIAGONI, SE ..................................
17. DOMINUS ANGGAIBAK ..................................
18. HOBER BEANAL, SH ..................................
19. KAREL KUM, SH ..................................
20. LUTHER MAGAL, ST ..................................
21. KRINUS KUM, S.IP ..................................
22. KRINUS JAWAME ..................................
23. OKTOVIANUS OMABAK ..................................
24. ANANIAS ABOGAU ..................................
25. YUSUP METEGAU ..................................
26. PERION JANAMPA ..................................
27. TOMMY UAMANG, SH ..................................
28. DETEMINUS ABOGAU ..................................
29. MARKUS DIWITAU, SE.Ak ..................................


Mengetahui :


Kepada Kampung Arwanop





HOBAJA JANGKUP Kepala Suku
Kampung Arwanop




KELLO JANGKUP Kepala Dusun





TIUKAL ANDERIAS BOLMANG

3 komentar:

elf mengatakan...

ear: Land owners

It your right to fight over the land, we support you to get your own right back from the strangers!!!

God be with you
E. Jangkup

jawame januarius mengatakan...

masala adat di timika adalah bukan sekedar orang bisa di bawa bawa mulut ke mulu ttapi masala adat timika adalah kusus untuk putra daerah puyah,

Unknown mengatakan...

masalah adat timika adalah masalah yang harus di kontrol and di perhatikan penuh oleh putra daerah supaya tidak kehilangan Hak putra daerah setempat.